Sabtu, 03 Juli 2010

TIGA

Fort ternyata memang sudah menungguku di dalam rumahnya yang berantakan. Eliza ada disana, duduk dengan kaki merapat. Ia melihatku dan tersenyum letih. Kutanyakan pada Fort dimana ia bertemu Eliza. Katanya di kantor, dan sepertinya aktivitas berjalan seperti biasa.
“ Mereka memang datang hari itu, Arus.” Tukas Eliza. Wajahnya terlihat letih sekali.” Mereka mengancam kami, dan membunuh dua orang. Mereka menyuruh kami mengatakan dimana ruangan Amanda.”
“ Dan kalian mengatakannya?” tebakku. Tentu saja. Kalau tidak, bagaimana mereka menemukan kami.
“ Ya, dua orang sudah cukup. Maaf, Arus.”
Aku mengangguk.
Eliza kemudian melanjutkan,” Mereka kemudian pergi satu jam kemudian. Mereka mengancam kami. Mereka katakan pada kami bahwa kami tak mendengar apa-apa, tidak melihat apa-apa, dan tidak mengenal mereka. Kami hanya bisa mengangguk. Dan, meski kami melakukan segalanya seperti biasa, kami tak dapat menyembunyikan rasa trauma kami.”
Aku menghela napas. Tak tahu harus bertanya dari mana. Akhirnya aku duduk, dan, sementara Fort menyeduh kopi, aku menceritakan semuanya pada Eliza. Dia terlihat kaget, mengetahui kebenaran yang memang aku sendiri pun sulit untuk percaya. Kuperlihatkan dokumen Tuan Slittering dan chipnya. Tampaknya ia tak tahu apa-apa, jadi, kelihatannya percuma membawa Eliza ke sini.
Kami duduk dalam diam, menyeruput kopi dari Fort. Tak tahu harus berkata apa, atau memperbincangkan apa. Fort kelihatannya ngantuk sekali, sedangkan Eliza terlihat berpikir dalam. Aku pun duduk, tak berpikir apa-apa. Hingga akhirnya telepon genggamku berbunyi. Dari Sezquall. Dia memberikan alamat motel yang ia temukan padaku.
“ Eliza, apa kau tahu hal lain tentang Yajedan?” tanyaku. Eliza hanya menggeleng dengan letih. Ia kemudian minta izin pulang jika tidak dibutuhkan.
“ Baiklah, tapi, aku minta tolong satu hal.” Kataku.” Kabarkan segalanya yang kau tahu di kantor, apapun itu. Aku harus tahu keadaan di kantor, dan,” aku menghela napas panjang, kemudian melanjutkan,” Jaga dirimu baik-baik.”
Eliza tersenyum sekali lagi, kemudian ia menyanggupi permintaanku. Dia akan mengabarkan lewat email, atau telepon. Akhirnya kami berpisah. Setelah berterima kasih pada Fort dan Eliza, aku memanggil taksi.
“ Arus.” Ujar Fort saat aku baru saja membuka pintu taksi.” Aku akan pergi keluar kota hari ini. Mungkin untuk sementara aku takkan dapat dihubungi, jadi, ya, jangan cari aku.”
Aku mengangguk, mengerti akan keadaan Fort. Dia sudah diincar Yajedan, sebuah organisasi yang menyusup di seluruh bagian kota. Tentu saja tidak mudah bertahan hidup di sini sekarang.
Selama perjalanan di taksi aku tertidur, lelah berpikir. Aku tak ingat apa-apa hingga supir membangunkanku, mengatakan padaku bahwa kami sudah sampai. Aku membayar, kemudian turun. Tempat itu memang benar-benar jauh dari kota. Motel itu terdapat di gunung, dan amat terpencil. Terlihat dari bahwa motel itu adalah satu-satunya bangunan di sekitar. Catnya berwarna coklat, dan bangunannya berbentuk U. Udaranya dingin sekali, mungkin sekitar -20 derajat. Aku masuk, dan melihat Sezquall duduk di lobi, sedang membaca koran.
“ Ah, Arus. Kabar apa yang kau dapat? Dan, dimana Eliza?”
“ Dia sama tidak tahu apa-apanya dengan seekor beruang dungu.” Aku melemparkan diri ke sofa di lobi juga, kemudian melanjutkan,” Ternyata dugaanmu tepat. Yajedan tidak membunuh atau pun menyandera kawan-kawan di kantor.”
Sezquall tersenyum bangga.
Kami tidak banyak berdiskusi setelah itu, hanya duduk di lobi hingga malam turun, dan mata kami mulai meruyup diserang kantuk. Kami pergi keatas, kemudian memasuki kamar. Kamar itu kecil, namun cukup nyaman. Dengan dua buah kasur besar yang saling berhadapan, sebuah kamar mandi kecil yang sedikit kotor, dan sebuah kulkas di samping jendela besar. Aku langsung tertidur begitu melemparkan diri ke kasur, namun Sezquall tidak. Dia mengeluarkan sebuah laptop dari tasnya, kemudian berkata bahwa ia hendak mencari berita terbaru.
“ Terserahlah, selamat malam.” Tukasku, jengkel tanpa sebab. Mungkin karena terlalu lelah.
Dan aku terbangun esok paginya, masih mendapati Sezquall menggunakan laptopnya, masih terhubung ke internet.
“ Kau tidak tidur?” tanyaku sebelum menguap lebar.
“ Tentu saja tidur. Mana kuat aku tak tidur semalaman.”
Benarkah? Dia tidak terlihat tidur. Ah, sudahlah. Itu urusannya.
Selama seminggu kami tinggal di motel itu. Sezquall seringkali menghubungi Elena. Aku tak banyak bicara dalam satu minggu itu, juga hampir tak melakukan apa-apa. Tak berani keluar, karena selain takut ditemukan, juga takut kehilangan arah. Selain terpencil, motel ini juga kelihatannya amat sepi pengunjung. Terlihat dari resepsionisnya yang adalah sang pemiliknya sendiri. Aku terkadang mengobrol dengannya. Namanya Fallacia Ersi. Dia seorang wanita dua puluh lima tahun yang cantik. Namun wajahnya kelihatan sedih selalu. Namun ia kelihatan cukup ceria jika kuajak bicara. Rambutnya coklat panjang, tipis, dan lembut. Seringkali rambutnya diikat. Ia jarang memakai mantel, karena di dalam motel memang hangat. Kulitnya putih, dan kalau kedinginan pipinya memerah.
“ Mengapa kau membangun penginapan disini kalau begitu?” tanyaku pada Fallacia suatu hari saat kami sedang mengobrol.
“ Ini warisan dari ibuku. Dia memberikan penginapan ini saat dia meninggal. Ini satu-satunya yang kumiliki.
“ Ah, begitu.” Kataku.
“ Yah, sulit memang.” Kata Fallacia.” Minggu ini saja hanya dua kamar yang terisi. Tidak mahal memang, satu malamnya. Namun fasilitas dan sulitnya tempat ini dijangkau membuat orang enggan datang. Saluran televisi saja jelek sekali. Radio juga.”
“ Tidak usah bersedih seperti itu!” hiburku.” Suatu saat pasti tempat ini maju.”
“ Kau pikir begitu?” Fallacia terlihat senang.
“ Ya, tak mungkin bukan sesuatu atau seseorang terpuruk selamanya.”
“ Benar.” Fallacia tersenyum.” Kau benar, Arus.”
Orangtuanya sudah meninggal. Dia benar-benar sendirian. Dia anak tunggal. Keluarga dari ibunya tidak terlalu memperhatikannya. Keluarga dari ayahnya masih kadang menjenguknya. Meski itu tak mengubah apapun.
Selain mengobrol dengan Fallacia aku hampir tak memiliki aktivitas lain. Terkadang aku membaca buku yang ada di lobi. Buku-buku lama yang sudah kuning, atau membaca koran.
Satu keluarga lagi menempati satu kamar di seberang kamarku. Keluarga itu terdiri dari satu anak, satu ibu dan satu ayah. Mereka hanya bertiga, dan kelihatannya sangat menikmati liburan mereka di motel terpencil ini. Aku tidak kenal dengan ibu dan anak perempuan mereka yang masih kecil, namun aku kadang mengobrol dengan ayah mereka. Dimitri, itu namanya. Dia tinggi sekali, mungkin sekepala lebih tinggi dariku. Ia senang memakai mantel, dan selalu kelihatan senang. Dimitri juga dapat dengan mudah menularkan kesenangannya pada orang lain. Aku bingung, bagaimana ia dapat senang berlibur di motel kecil seperti ini. Mungkin ia bisa, tapi keluarganya?
“ Itu memang suatu tantangan tersendiri bagiku.” Kata Dimitri, tertawa.” Kami bukan keluarga kaya, dan kami pekerja keras. Aku seorang buruh pabrik, dan anakku harus belajar giat agar mendapatkan beasiswa dan tetap sekolah. Kami butuh liburan, setidaknya keluar dari rumah.”
Aku ikut tertawa, bangga akan usahanya. Kulihat ia menikmati hidupnya meski mungkin serba kekurangan.
Aku sudah melihat seluruh kartu tanda penduduk semua orang disini, dan, seperti yang kuharapkan, tidak ada orang Yajedan disini. Namun terkadang aku berpikir, bagaimana jika salah seorang dari mereka memang tak memiliki cap bintang merah di bawah kiri kartu tanda penduduk mereka? Maksudku, bukannya tidak mungkin Yajedan sengaja tidak menaruh bintang tersebut agar orang itu tidak diketahui sebagai anggota Yajedan. Aku sempat mengirim email pada Aruna soal ini, dan ia jawab singkat:
“ Arus, tidak perlu khawatir soal itu. Yajedan sudah mirip dengan sebuah agama sekarang. Penempatan bintang itu sudah layaknya ibadah bagi mereka, dan, jika tidak, itu merupakan sebuah penghinaan seumur hidup.”
Benarkah? Aku tetap tidak yakin. Walau sejauh ini aku belum pernah bertemu anggota Yajedan tanpa bintang itu di kartu tanda pengenal mereka. Sudahlah, mungkin tak perlu kupikirkan tentang itu. Aruna juga mengatakan tidak akan membuka internet selama sebulan ini, jadi jangan kontak dia. Soal chip itu, dia juga tidak tahu karena belum pernah diceritakan oleh Tuan Slittering.
Yah, mungkin kami akan tertahan disini beberapa hari lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar