Jumat, 02 Juli 2010

EMPAT

Jam tiga hari itu kami benar-benar meninggalkan kantor. Aku dan Amanda tidak tahu apa yang hendak dibicarakan Aruna, tapi dari sikapnya yang tidak terkejut melihat foto dari Red, kupikir dia tahu banyak.
Hari tidak bertambah baik. Suhunya masih jauh dibawah nol. Dan lebih buruknya tidak ada berita lebih lanjut tentang semua ini. Berita dalam negeri hanya menyampaikan keanehan ini berulang-ulang tanpa solusi, atau terkadang jumlah korban tewas karena membeku. Berita luar negeri lebih parah, tidak ada yang menyangkut ini semua. Aneh sekali, memang. Tapi memang begini adanya.
Kami naik bus untuk pergi ke Mall yang Aruna maksud. Kalau tidak salah, namanya Tiga Perempat Plaza. Aku tak tahu maksudnya, dan tak mau tahu. Toh aku bukan penggemar Mall.
Bus kami berbelok ke kanan, melewati tempat yang dulunya Taman Kota. Pepohonan mati berjejer disana, beberapa masih berdaun, tapi kebanyakan sudah tidak. Di tengahnya terdapat sebuah pohon paling besar. Amanda pernah bercerita tentang pohon itu. Katanya umurnya sudah hampir seribu tahun. Ya, memang ukurannya raksasa. Aku bertanya padanya, apakah itu pohon yang ia maksudkan.
“ Benar.” Jawabnya.” Luar biasa bukan?”
“ Apakah umurnya benar-benar seribu tahun?”
“ Menurut informasi yang kudapat, ya.”
Menurutku pribadi, sungguh amat disayangkan karena pohon itu pasti akan mati jika musim tidak berubah dalam setahun ini. Daunnya sudah habis. Apa pohon itu masih hidup? Ah, aku tak peduli. Lagipula, itu bukan urusanku. Tapi ini malah membawaku pada pertanyaan lain, jika pohon tidak berfotosintesis, oksigen yang selama ini kami hisap datang dari mana?
“ Menurut beberapa ilmuwan, ada sebuah wilayah yang masih cukup hangat bagi pohon untuk fotosintesis.” Jawab Amanda saat kutanya. “ Tapi sampai sekarang tak pernah ditemukan dimana itu.”
Tak masuk akal, menurutku. Memangnya bumi ini planet asing? Kami sudah punya satelit, peta, dan segalanya yang diperlukan untuk menjelajah. Apa tidak bisa kita menemukan tempat ini?
Tak sempat aku kukatakan rasa penasaranku, kami sudah sampai. Mall itu memang besar sekali. Ada beberapa toko di depan Mall. Dan aku yakin ada puluhan di dalamnya. Poster-poster raksasa berisi film terbaru berjejer di dinding atas Mall itu. Tempat parkirnya sempit sekali, dan banyak sekali orang berkumpul di pintu masuk jika hujan salju turun, menunggu jemputan mereka. Biasanya di lantai pertama terdapat banyak dealer mobil, atau terkadang handphone yang dengan speakernya mempromosikan barang dagangan mereka. Di lantai paling atas, seperti Mall-Mall kebanyakan, ada gedung bioskop besar yang dipenuhi anak muda pacaran.
QueQue ada di lantai tiga. Kukira takkan lama sampai ke sana, namun ternyata ceritanya tak seperti yang kukira. Amanda tidak tahan untuk tidak melihat-lihat jaket disana. Kami sudah lima belas menit berada di sebuah toko baju. Aku hanya duduk, cemas karena Aruna pasti frustasi.
“ Kau duluan saja.” Kata Amanda, yang sedang mengagumi sebuah jaket beludru.” Aku akan menyusul.”
Yah, baiklah. Kataku. Aku takkan berani membantah kata-katanya. Karenanya cepat-cepat aku menaiki sebuah elevator sebelum Aruna benar-benar frustasi menunggu kami.
Aku mengerutkan dahi saat melihat seorang wanita tinggi kurus dengan rambut kuning pirang bergaya harajuku berjalan cepat ke arah Amanda. Tunggu, kupikir aku tahu siapa dia. Rambut kuning, baju hitam ketat dan jaket kulit hitam. Kuperhatikan tangan kanannya masuk ke dalam jaketnya, kemudian keluar dengan sebuah…sebuah..
Pistol!
Aku ingat! Dia adalah pembunuh Tuan Slittering yang ada di foto. Aku takkan bisa lupa dengan rambutnya itu.
“ Amanda! Tiarap!” Teriakku.
Ternyata wanita itu menyadari teriakanku, dan serta-merta menembakkan sebuah peluru ke arah Amanda. Untunglah peluru tersebut mengenai tembok, dan dalam satu detik semua pengunjung berlarian. Aku melompat ke bawah, berusaha mencari Amanda. Dia ternyata jatuh terduduk di lantai toko, kaget.
“ Cepat, kita lari!” Aku mengaitkan tanganku ke siku Amanda.” Kita harus keluar dari sini!”
“ Ada apa ini, Arus?”
“ Aku juga tidak tahu! Sekarang bukan waktunya memikirkan itu! Kita harus menyelamatkan diri!”
Aku berlari, diikuti Amanda dibelakangku. Wanita itu menemukan kami, dan dengan kecepatan luar biasa mengejar kami. Tiga peluru hampir mengenai kami, dan satu diantaranya mengenai kepala seorang bocah remaja hingga ia tewas seketika.
Di depan ada elevator yang akan membawa kami ke lantai dasar. Tapi jika kami mengambil jalan itu, kemungkinan besar kami akan tertembak saat meniti elevator turun. Satu-satunya cara menghindari peluru hanya berlari zig-zag, dan saat meniti elevator kami akan terpaksa berlari lurus.
Apa yang harus kulakukan?
“ Kita harus melompat.”
Amanda terperanjat.” Apa? Apa kau gila?” Kedengaran sekali napasnya sudah habis.
“ Tidak, ini satu-satunya cara. Tidak usah banyak tanya Amanda, dibawah ada kasur yang sedang dijual, jika kita bisa mendarat disana maka luka kita bisa diminimalisir.”
“ Kalau tidak?”
Aku tak menjawab. Aku menuntun Amanda berlari menembus kumpulan orang-orang. Di depan sana sasaranku, dan aku melepaskan tangan Amanda, melompat.
“ Ayo Amanda!” Aku merasakan tubuhku kehilangan berat, dan serta merta jatuh ke bawah dengan percepatan yang cukup untuk membuatku tegang setengah mati. Kasurnya! Aku berhasil mendarat di kasur tersebut, dan aku kembali terpental dari kasur tersebut. Hingga akhirnya aku mendarat di lantai dengan sikuku.
Sakit sekali memang, tapi kucoba untuk tidak menghiraukannya dan melihat ke atas. Dimana Amanda? Dia tidak melompatkah? Tidak, dia melompat. Namun, lompatannya terlambat. Begitu Amanda melompat, peluru wanita Harajuku itu menembus kepalanya. Dan disanalah, saat itu jantungku rasanya berhenti, saat Amanda jatuh ke bawah dengan
sebuah lubang di kepalanya. Ia mendarat di ubin, dengan darah menggenanginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar