Rabu, 28 April 2010

DUA(part 3)

Apa sebenarnya yang terjadi pada Red? Kucoba untuk membuka ruangannya yang tak pernah satu kali pun kusentuh itu. Dikunci. Mau berapa kali pun kucoba tetap tak bisa kubuka pintu itu. Kudobrak? Ah, tidak. Itu benar-benar tidak sopan. Red tetap sahabatku. Aku tak akan melakukan hal seperti itu. Tapi, apa dengan begitu semua masalah akan selesai? Apa sebenarnya yang harus kulakukan?

Namun tepat saat aku berbalik Red berdiri di hadapanku, dengan setumpuk kertas dijepit di tangan kanannnya dan sebuah laptop di tangan kirinya.
" Arus." katanya, tersenyum." Kebetulan sekali kau ada disini. Tanganku penuh, bisakah kau membukakan pintunya?"
Aku tergagap.
" Oh, aku hampir lupa. Ini kuncinya." Ia berdiri menyamping dan mengarahkan matanya ke kantung kanan mantelnya.
Aku menghela napas, setidaknya Red sudah kembali normal, yah, untuk saat ini. Aku mengambil kunci itu dari kantungnya dan membuka pintu.
" Bisakah kutemui kau di ruanganmu nanti?" Tanyanya. Aku mengangguk, masih tak mengatakan apapun.

Kamis, 22 April 2010

DUA( Part 3)

" Maaf. Aku masih memikirkan soal Tuan Slittering dan Red." ujarku agak menunduk, memperhatikan salju yang menempel di sepatu botku.
" Apakah ini pertama kalinya kau bertemu kasus pembunuhan seperti ini?" Sezquall memberi isyarat bagiku untuk mengikutinya.
" Bukan begitu. Hanya saja Red, dia agak aneh." balasku sambil berjalan tanpa mengalihkan pandanganku dari sepatuku.
" Kantor sudah dibuka lagi, tapi kantor Slittering masih ditutup. Red agak aneh, ya, karenanya aku menaruh curiga padanya. Karenanya, Arus, aku mau kau menyelidiki Red. Kau teman baiknya bukan?"
Aku mengangguk, tercekat karena tahu ke mana arahnya percakapan ini.
" Dan kalau kau tidak bersedia, mungkin hasilnya akan lebih buruk. Ingat itu."

Sezquall berbelok tepat sesaat aku memasuki halaman kantor. Aku terdiam disana, tercekat sekali lagi. Aku memata-matai Red? Apa aku bisa? Apa ini benar? Apa artinya aku mengkhianatinya? Tapi mungkin ini kesempatan bagiku. Kesempatan untuk mengetahui kebenaran. Ya, katanya kesempatan tak datang dua kali. Kupikir aku akan mengambilnya. Aku harus mengambilnya. Ini satu-satunya jalan untuk mengetahui kebenaran.

Kulangkahkan kakiku ke dalam kantor. Udara hangat menerpa wajahku. Berbeda dengan kemarin, hari ini sudah banyak orang yang berseliweran. Aku melihat wajah mereka satu per satu, tapi tak ada Red. Amanda lewat tanpa menyapaku, wajahnya terlihat shock. Apalagi Eliza. Dia tak melirikku sama sekali dan matanya bengkak setelah menangis kemarin, mungkin malamnya juga.

Aku mengetuk pintu kantor Red, tapi tak ada jawaban dari dalam. Kuketuk untuk kedua kalinya, ketiga, dan keempat. Tapi tetap tak ada jawaban dari dalam. Seseorang menepuk pundakku dan berkata," Red tidak masuk hari ini, Arus. Percuma kau mengetuk kantornya."
" Tidak masuk?" tanyaku, agak mengangkat alis saat melihat pria tak dikenal di depanku. Namun ia segera pergi dari hadapanku, seakan tak mau berurusan lama denganku. Aku tidak begitu peduli dengannya, toh saat ini kepalaku masih dipenuhi oleh masalah Red dan Tuan Slittering.

Rabu, 21 April 2010

DUA(Part 2)

Aku bahkan tidak meninggalkan apartemenku hari itu. Aku merenungkan tentang apa yang baru saja terjadi. Tentang kematian Tuan Slittering yang begitu mencengangkan. Tentang Sezquall, dan terlebih tentang sikap Red yang aneh.

Pagi seakan tidak menyambutku dengan ramah dengan cahaya mataharinya yang redup. Aku sudah terjaga dari setengah jam yang lalu. Tapi badanku sulit sekali digerakkan, mungkin lebih tepatnya malas. Aku hanya menatap langit-langit, terus berpikir. Apa sebenarnya yang Red pikirkan? Dia bersikap seakan memang dia memiliki bukti. Sezquall mengira dia bersalah. Sakit mengakuinya, tapi aku juga berpikir begitu. Aku berusaha mempercayai bahwa Red tak bersalah. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang, kupikir mengarah pada kalimat," Red bersalah."

Seseorang mengetuk pintu dengan keras, membuatku terlonjak. Aku membuka selimutku dan membukakan pintu.
" Detektif." sapaku pada Sezquall. Dia sudah berpakaian rapi dengan jas panjang coklat dan sarung tangan tipis kulit. Kupikir ia tidak berpakaian seperti orang lain hingga berlapis-lapis, tapi kelihatannya dia sama sekali tidak kedinginan. Sebuah cerutu dijepit di kedua bibirnya.
" Arus." kata Sezquall tanpa menatapku sama sekali." Oh, tidak, aku tidak akan masuk ke dalam apartemenmu yang berantakan itu. Maaf saja." dia menambahkan saat aku mempersilahkannya masuk." Cepat berpakaian dan temui aku diluar. Ada yang mesti kubicarakan denganmu. Ini soal Red."
Aku mengangguk perlahan dan Sezquall sudah hilang di sudut lorong. Aku melapis bajuku dengan dua sweater dan satu mantel. Di luar sedang hujan salju, dapat kulihat dari lift yang terletak di depan gedung dan dindingnya terbuat dari kaca.
" Detektif!" Panggilku begitu sampai di luar. Ia menungguku berlari ke arahnya. Cerutunya masih berasap di mulutnya.
" Arus. Lama sekali kau."
Aku menggigil."Kupikir aku sudah cukup cepat."
" Idiot macam apa yang menganggap lima menit itu cepat."

Minggu, 18 April 2010

DUA( part 1)

Aku mengendap-endap masuk ke dalam, berusaha mencari Red di dalam karena tak kutemukan di luar. Aku tak tahu apa yang Red pikirkan. Ia masuk ke dalam, untuk apa? Aku yakin aku melihatnya berbelok di sudut lantai dua. Dasar bodoh! pekikku dalam hati. Seorang polisi masih mondar-mandir disana, dan hampir saja Red ketahuan. Dia masuk ke ruangannya perlahan.
" Red," bisikku dari kejauhan, dengan putus asa memanggilnya perlahan." Red!"
Tentu saja dia tak dapat mendengarku. Bahkan Red masuk, menutup pintu,dan tak keluar-keluar lagi selama lima menit.
" Tuan?" sebuah suara membuatku terlonjak kaget." Ada keperluan apa disini?"
Aku berbalik, dan seorang polisi memandangiku dengan curiga.
" Aku, aku hanya sedang..."
" Aku yang memintanya untuk masuk."
Sezquall?" Ya, ya! Dia yang memintaku untuk masuk."
" Hmmm." polisi itu menggaruk dagunya." Baiklah kalau begitu."
Aku dan Sezquall terus memandangi polisi itu hingga ia menghilang di sudut jalan.
" Bodoh, sedang apa kau disini?" bisik Sezquall amat pelan, dan aku yakin dengan amarah yang tertahan.
" Red, dia masuk ke ruangannya.Entah untuk apa. Aku ke sini untuk mencarinya."
" Apa? dia masuk ke sini? Tanpa izin?" Sezquall tampak marah sekali. Aku mengiyakan, dan kami baru saja hendak membuka pintu saat Red keluar dengan wajah kaget dan dingin.
" Ada apa?" tanyanya. Sebuah map di tangan kirinya dan tas di tangan kanannya.
Sezquall terdiam. Apalagi aku.
" Aku hanya mengambil barang-barangku. Mengapa kau menatapku seperti itu detektif?"
" Kau masuk ke dalam tanpa izin untuk mengambil barang-barangmu? Tentu saja itu sangat mencurigakan dasar idiot." ujar Sezquall berang.
" Aku hanya tidak mau barang-barangku digeledah polisi hingga berantakan. Itu saja."
" Ada apa dengan barang-barangmu memangnya? Ada barang bukti disana?"
" Tidak, jangan mimpi. Ini hanya laptopku, barang-barang pribadiku, dan artikelku."
" Biar kulihat." Sezquall merebut barang-barang Red, yang tetap tenang. Aku menelan ludah. Memangnya ada apa disana? Red terlihat tenang, ya, tapi Sezquall terus memeriksa barang-barangnya, maksudku benar-benar memeriksanya. Ia membaca tiap kata, tiap tulisan, tiap barang, tiap kertas. Red terlihat agak tegang, dan aku juga semakin tegang. Apa Red memang penjahat?
Tidak, tidak, Red bukan penjahat. Dia hanya berada di waktu dan tempat yang salah. Aku benar kan? Nah, nah. Akhirnya Sezquall menyerah kan? Dia membiarkan Red pergi.
Red pergi, benar-benar pergi. Ia bahkan tak melihatku. Ia berjalan dengan cepat menuruni tangga dengan langkah amat cepat. Aku memandanginya bingung, apa yang terjadi dengannya...?

Senin, 05 April 2010

SATU( Last part)

" Eliza...?" Aku perlahan mendekati Eliza yang terisak di bahu Amanda. Aku tahu tidak bijak bertanya sekarang, tapi rasa penasaranku begitu tinggi," Apa yang terjadi?"
Alih-alih menjawab, Eliza malah terisak semakin keras.
" Jangan sekarang, Arus, kumohon." kata Amanda sambil mengerutkan dahi. " Apa kau tidak punya rasa kasihan?"
" Maaf." tukasku. Red menyandarkan dirinya ke tembok, aku tidak tahu hanya perasaanku saja atau memang benar, Red mengulaskan senyum kecil. Namun kurasa itu hanya perasaanku, aku yakinkah diriku akan itu.
Seseorang menepuk pundakku dengan keras sekali, membuatku berbalik dengan cepat. Seorang yang tidak kukenal berdiri di depanku. Ia berambut hitam pendek dan memiliki pandangan tajam. Pandangannya bertemu denganku, dan entah kenapa aku merasa diintimidasi saat itu.
" Detektif Rosseau. Sezquall Rosseau." Ia mengulurkan tangannya.
" Arus Revoir." kataku sambil menjabat tangannya." Detektif, apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
" Ini," Sezquall memperlihatkan sebuah foto. Aku tercekat, disana terbaring Tuan Slittering dengan lima lubang di kepalanya. Darah membasahi karpet kantornya, membuatku bergidik." Kemungkinan pembunuhnya menggunakan pistol berperedam karena tak ada yang mendengar suara tembakan."
" Mungkin pisau?"
" Tidak, tidak. Polisi sudah mengidentifikasi peluru yang gagal menembus kepala Tuan Slittering. Itu peluru TEK-9, dan itu bukan senjata murah. Pasti sekumpulan mafia atau semacamnya yang membunuh Mr.Slittering."
Aku tercenung sejenak. Tapi mengapa ada yang mau membunuh Tuan Slittering? Dia bukan orang jahat, dia hanya kurang bicara. Dari penampilannya yang gendut dan berkumis tebal itu, takkan ada yang membencinya. Apa motif pembunuh itu?
" Tapi sebelum itu, Tuan Revoir. Anda berada dimana tadi?"
" Saya? Saya bersama teman saya Red sedang makan di Itadakimasu, tiga gedung dari sini." ujarku.
" Apa Anda mengenal Mr.Slittering?"
" Tidak, tidak terlalu." jawabku sejujurnya." Saya baru sekali bertatap muka dengannya."
" Dengan tujuan?"
" Beliau memuji saya soal artikel yang saya buat. Saya bekerja disini, Tuan Rosseau. Dia editor saya."
Sezquall mengangguk-angguk, kelihatannya puas dengan jawabanku. Red masih bersandar pada tembok, kali ini kelihatannya shock sekali. Aku berdiri bersama Sezquall di depan gedung sementara polisi memasang garis polisi di depan gedung. Banyak yang menangis, banyak yang hanya terdiam shock. Dan saat kulihat lagi ke arah tembok tempat Red berada, ia sudah tidak ada.

Jumat, 02 April 2010

SATU( Part 3)

Aku tersenyum mendengar ajakan Eliza, bimbang akan menerimanya atau tidak. Aku tidak begitu tertarik dengan orang-orang Yajedan ini sebenarnya, karena aku sedang mencari tahu tentang kertas Amanda. Aku benar-benar bersyukur saat Red berkata," Eliza! Aku hendak memesan ini, tidak apa kan?"
Setidaknya itu mengalihkan perhatiannya," Oh, maaf Red. Waktu traktir sudah habis. Aku harus kembali. Bye semuanya, terima kasih."
Red terpaku kesal.
" Oh, Eliza, selamat atas kesuksesanmu." ucapku saat ia bangkit." Jika kau mengetahui tentang Yajedan, beritahu aku." kataku, sekedar untuk menghargainya.
Eliza tersenyum untuk kesekian kalinya. Red akhirnya duduk di ujung Itadakimasu, sedang memesan. Sementara Eliza dan kawan-kawannya keluar, dan terdengar "arigatou" dari pintu, aku menghampiri Red.
" Arus, jadi kau hendak memesan apa?" Tanya Red saat aku duduk bergabung di mejanya.
" Aku tidak begitu mengerti makanan Jepang." ujarku." Pesananku sama denganmu."
Red bicara pada si pelayan sipit, kemudian pelayan tersebut mengulangi pesanan dan pergi.
" Jadi kau sudah tahu apa isi artikel Eliza?" Tanya Red saat pelayan itu sudah entah ke mana.
" Ah, ya. Katanya Pulau Yajedan di Pasifik terisolasi karena lautan sekitarnya membeku."
Red terlihat agak tercekat, namun aku tidak begitu memperhatikannya." Tidak mungkin laut membeku dengan kadar garam yang terkandung di dalamnya."
Aku terdiam, menyadari kebenaran pernyataan Red. Karenanya aku segera membuka koran dari Eliza kembali.
" Lihat ini." Kataku." Suhu disana hampir mencapai minus delapan puluh hingga seratus derajat celcius. Tentulah lautan dapat beku."
" Tidak mungkin!" Ujar Red." Manusia takkan mampu hidup pada suhu serendah itu!"
" Memang tidak ada kabar dari dalam Yajedan. Mungkin mereka semua mati beku."
Red dan aku tertawa, walau entah kenapa tawa Red terasa hambar bagiku. Menganggapnya hanya perasaan konyolku, aku kemudian melanjutkan," Apa kau tertarik dengan artikel ini?"
" Tidak begitu." jawab Red." Yajedan, aku belum pernah dengar tentang itu."
" Aku juga. Makanya aku bingung kenapa berita itu bisa jadi berita utama."
Makanan kami datang tak lama kemudian. Aku tidak tahu itu makanan apa, seperti gumpalan nasi yang disumpalkan ikan di dalamnya.
Aku memakannya dan menyadari rasanya benar-benar aneh, namun kujaga tampangku agar terlihat biasa saja.
" Kau tahu pasti kan Arus. Direktur editor kita, Tuan Slittering memang hobinya benar-benar aneh. Menerbitkan berita-berita yang amat berbeda dengan berita-berita yang diterbitkan di koran lain! Tapi entah kenapa koran kita tetap sukses."
" Ya," tukasku dengan mulut penuh makanan." Orang-orang sudah jemu tentu saja. Zaman es ini, zaman es itu. Kiamat ini, akhir dunia itu. Mereka butuh pengalihan sepertinya. Contohnya Pulau Yajedan itu. Eliza tidak terlalu menekankan bagian terisolasinya, tetapi budaya mereka, bagaimana mereka bertahan hidup, kira-kira begitu."
" Tunggu. Sebenarnya Yajedan itu orang-orang primitif atau semacamnya?"
" Entahlah. Karena itu kau makan yang cepat, agar aku dapat mencarinya di internet."
" Sabarlah sedikit Arus. Waktu tidak mengejar kita."
Aku terdiam, menyaksikan Red perlahan menghabiskan makanannya. Piringku sudah kosong, karenanya aku hanya meneguk teh panas yang disediakan.
" Kau tahu,Arus. Aku sebenarnya tidak pernah benar-benar melihat Tuan Slittering. Aku tahu, dia editor kita. Aku pun pernah melihatnya di foto, tapi tak pernah aku bertatap langsung dengannya. Bahkan melihatnya berjalan di kantor pun tidak."
" Aku pernah sekali." kataku, tersenyum bangga." Tuan Slittering memanggilku karena beritaku tentang badai matahari dulu. Katanya itu berita yang amat bagus. Dan dia bangga akan kerja kerasku."
Red tertawa terbahak," Kau tidak mungkin melakukan penelitian tentang itu Arus. Aku tahu kau orang macam apa, kau pasti hanya mencarinya di internet bukan? Sedangkan 'kata professor ini' dalam artikelmu hanya rekaanmu saja bukan?"
Aku ikut tertawa," Benar, untunglah Tuan Slittering tidak mengungkitnya lagi walaupun aku yakin dia tahu tentang itu."
Suara sirine mobil polisi membuatku dan Red menengok ke jendela, sedikit terperanjat. Namun kami menegang saat mobil tersebut berhenti di depan kantor kami. Aku dan Red segera berlari menuju tempat itu. Entah Red sadar atau tidak, kami belum bayar sebenarnya. Namun para pelayan pun sama kagetnya dengan kami, hingga lupa meminta bayaran rupanya.
Kami berlari dengan cepat hingga sampai di kantor. Disana sudah ada banyak polisi berkumpul. Eliza sedang sesenggukan, Amanda di sebelahnya, berusaha menenangkannya.
" Amanda!" teriakku." Apa yang terjadi?"
" Entahlah, Eliza yang menyaksikannya."
" Menyaksikan apa?" tanyaku amat penasaran.
" Tuan..." Eliza masih sesenggukan." Tuan Slittering..."

Kamis, 01 April 2010

SATU(Part 2)

"Inggris? Benarkah? Tidakkah terlalu cepat untuk sebuah keputusan seperti itu?"
Amanda menatapku dengan tatapan yang mengerikan dan tajam, membuatku mengangkat alis, mencoba menghilangkan rasa panikku." Sudah kubilang, Arus, itu baru hipotesa."
" Baik, oke, terima kasih banyak Amanda." Aku mengangkat tangan, melihat arlojiku dan senang karena waktu makan siang telah tiba." Aku harus pergi." gagapku.
Amanda mengangguk sinis, dan segera aku tinggalkan ruangan itu. Beruntung aku sudah menghapal tulisan tadi, dan dalam perjalananku mencari tempat makan aku terus mengulangnya dalam kepalaku, agar aku tidak perlu mengunjungi amanda lagi.

" Arus!" Red memanggilku dari belakang tepat sebelum aku melangkahkan kaki keluar.
Aku merapatkan syal di leherku saat angin dingin menerpa," Ada apa Red?"
" Kau hendak makan siang?"
Aku mengangguk.
" Bagaimana kalau kita ke restoran Jepang tiga gedung dari sini, kau tentu tahu tempat itu bukan? Eliza sedang dermawan, mentraktir siapa pun yang datang karena keberhasilannya menerbitkan artikel yang menjadi berita terhangat sekarang."
" Benarkah? Berita apa yang ditulisnya?" Aku mulai berjalan mengikuti Red ke tempat yang ia maksudkan.
" Entah. Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya."
Kami melewati tiga gedung sebelum melihat restoran yang Red maksud. Namanya Itadakimasu, selamat makan. Cukup kreatif, pikirku. Desainnya benar-benar seperti sebuah istana kaisar, dan dua pelayan yang menyambut kami saat kami masuk sambil membungkuk membuatku agak risih, seakan amat dihormati.
" Arus! Red!" Teriak Eliza. Ia duduk di sudut, dikerubungi orang-orang yang aku tidak kenal sama sekali. Ia adalah wanita berambut panjang hitam yang sedikit bergelombang, dengan mata coklat cemerlang yang selalu ceria. Tak terkecuali hari ini, ia terus tersenyum saat aku dan Red mendekatinya.
" Sukses besar,eh?" Red menjabat tangan Eliza dengan erat, kemudian Eliza tersenyum padaku.
Aku balas tersenyum," Jadi, artikel apa yang membuatmu senang seperti ini?"
" Ini." Eliza menyerahkan selembar koran. Aku membacanya, langsung dari tengah karena lelah membaca basa-basi Eliza yang hampir tiga paragraf:

....Karenanya sebuah pulau di tengah Samudra Pasifik terisolasi karena lima ratus kilometer persegi laut yang mengelilingi pulau tersebut. Dilaporkan gambar satelit tidak dapat menembus awan yang menutupinya. Orang-orang penghuninya, orang-orang Yajedan, benar-benar terisolasi dan hingga saat ini belum ada kabar dari dalam Pulau Yajedan.....


" Yajedan?" Alisku menyatu." Aku benar-benar belum pernah dengar."
Eliza meminum sodanya hingga habis," Aku juga belum melakukan penelitian lebih lanjut. Kau tertarik? Kau boleh membantuku, Arus." Ia tersenyum tulus.