Jumat, 02 Juli 2010

TIGA

Aku membiarkan kepalaku terbaring di atas bantal untuk sejenak. Jam masih menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Ah, toh jam kerjaku masih lama. Tak perlu buru-buru. Setidaknya itu yang kupikirkan, hingga akhirnya aku tertidur lagi. Mungkin karena terlalu lama berbaring. Dan akhirnya terbangun jam tujuh! Aku mengumpat pelan, cepat-cepat berpakaian rapi dan keluar dari apartemen kecilku.
Perlu kukatakan mungkin, bahwa diluar terasa lebih dingin dari biasanya. Dua mantel yang kukenakan tak mampu menahan rasa dingin yang begitu menusuk. Tapi dalam perjalananku menuju kantorku sendiri, kurasa ada baiknya sedikit berkenalan dengan editor baruku. Tapi baru saja aku hendak masuk ke kantor editor, kakiku berhenti karena mendengar suara percakapan dari dalam. Kukenali ada dua suara, Amanda dan satu suara perempuan yang asing bagiku.
“ Ada apa Ibu memanggil saya ke sini?” Itu suara Amanda. Aku semakin tertarik, karenanya kuputuskan untuk berdiri di sana, mendengarkan.
“ Tunggu, Amanda, bisa tolong tutup pintunya sebentar?”
“ Tentu.”
Pintu ditutup. Aku terpaksa menempelkan telingaku ke pintu.
“ Baiklah, kita tidak punya waktu banyak. Karenanya aku aka langsung pada intinya. Kau, Amanda, apa sudah berhasil memecahkan misteri kertas puisimu? “
“ Ah? Belum. Dari mana Ibu tahu soal kertas itu?”
Aruna tertawa pelan.” Tidak perlu tahu. Sepertinya kurang aman bicara disini.”
Mereka melanjutkan percakapan pendek mereka. Aruna berkata untuk menjaga dokumen-dokumen yang akan ia berikan dengan nyawanya. Katanya jangan perlihatkan pada siapa pun yang tidak bisa Amanda percayai.
“ Bacalah dokumen ini, dan kau akan tahu kebenaran.”
Setelah itu, Aruna meminta Amanda keluar, kurang lebih seperti itu. Karenanya aku cepat-cepat menyingkirkan telingaku dari pintu.
“ Arus.” Amanda memandangiku dingin.” Apa kau mendengar?”
“ Ah?” tukasku, pura-pura tolol.
“ Tidak, tidak. Lupakan.”
Aruna bertanya, ada siapa diluar.
“ Arus.” Jawab Amanda.” Dia rekan kerjaku.”
“ Ah, Arus Revoir, apa aku benar?”
Aku menengok ke dalam, dan mengangguk. Kami sedikit berbasa-basi, dan tiga menit kemudian Aruna bertanya padaku tentang pembunuhan Tuan Slittering. Aku menunjukkan foto yang tidak jadi Sezquall ambil, dan aku mengatakan semua yang kutahu.
“ Kulihat kau sangat tertarik dengan kasus ini.” Komentar Aruna.” Mengapa?”
“ Kasus ini ditutup bahkan sebelum pembunuhnya diketahui. Itu benar-benar ganjil. Dan tulisan di balik foto ini, kurasa ada sesuatu yang aneh di balik semua kejadian ini.
Aruna tersenyum, kemudian sambil berlalu ia berkata,” Amanda, Arus. Temui aku di kedai kopi di Mall di dekat Halte Padang jam tiga nanti. Ada yang harus kubicarakan.”
Aku dan Amanda saling tatap, kemudian mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar