Jumat, 02 Juli 2010

DUA

Para polisi yang mengejar kami benar-benar dibodohi hari itu. Aku senang aku berhasil lolos, dan Sezquall bangga karena idenya. Sudah kukatakan berkali-kali ia gila, dan jangan coba-coba melakukan itu lagi.
“ Lho? Buktinya kita selamat kan? Sudahlah Arus. Jangan dipermasalahkan lagi.” Begitu selalu jawabnya.
Kami cepat-cepat pergi dari tempat itu saat polisi berdiskusi untuk memeriksa mobil Sezquall. Di bawah hutan, dan, hari itu tidak turun salju. Suhunya sedikit diatas titik beku walaupun kurang hangat bagi pepohonan untuk menumbuhkan daunnya kembali. Setidaknya kami tidak terlalu terlihat diantara coklatnya pepohonan kering di sana. Sezquall memutuskan untuk mencari motel di pinggir kota karena mau tak mau, kami harus akui bahwa kami sekarang adalah buronan polisi.
Aku benar-benar berat menerima semua ini. Aku tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam masalah sebesar dan sepelik ini. Aku tak tahu harus mengatakan apa di depan polisi yang tak tahu apa-apa. Bahkan, jika kuperlihatkan dokumen Tuan Slittering yang penuh teka-teki itu dan takkan mungkin dimengerti mereka pun, belum tentu dapat menyelamatkanku. Apalagi menunjukkan chip yang entah apa kegunaannya.
“ Sekarang dari sini kita naik apa?” tanyaku saat keluar dari toko topi. Aku membeli topi Prancis, sedangkan Sezquall membeli sebuah sombrero seperti seorang koboi. Kami memutuskan untuk membeli topi karena menurut Sezquall itu adalah aksesoris wajib seorang buronan.
“ Tapi kita bukan buronan!” bantahku.
“ Setidaknya polisi mengira kita buronan.”
Sezquall memutuskan untuk naik taksi saja, dan, terpisah. Dia akan mencari motel dan aku disuruhnya menemui Fort dan membawa Eliza. Ya, aku tidak bisa menolak. Karena hanya aku yang tahu apa benar yang dibawa Fort itu Eliza. Jika ternyata salah, dan yang dibawanya anggota Yajedan, kami bisa kerepotan.
“ Semoga beruntung, Arus.” Kata Sezquall, saat aku menaiki taksi.” Dan, jangan sampai kehilangan teleponmu. Aku akan mengirim alamat motelnya.”
Aku mengangguk, tanda mengerti.
Dan sementara aku melihat keluar jendela saat taksi melaju. Sezquall memberhentikan taksi hitam dan juga melaju, menuju tujuan kami masing-masianng. Supir taksiku memakai jas hitam dan topi pelaut. Kumisnya besar dan tebal, berwarna putih. Ia tersenyum padaku, kemudian memperkenalkan dirinya.
“ Aku Herris Herold.” Ia menunjuk ke tanda pengenal yang ditempel di depan setirnya.” Ke mana Tuan?”
Aku menyebutkan alamat Fort.
“ Baiklah, Tuan. Jika ada masalah, hubungi kantor kami. Nomor teleponnya tertera di depan sana.”
Aku tersenyum.” Baik. Kuharap tak ada masalah.”
“ Kuharap juga begitu.”
Aku tak menjawab lagi. Siapa tahu dia mengenaliku, siapa tahu dia mata-mata polisi, atau jangan-jangan anggota Yajedan. Aku menghindari pembicaraan yang terlalu lama, tapi kelihatannya ia malah mengajakku bicara.
“ Tuan, bagaimana kabar Tuan?”
Aku mengangkat alis, bingung dengan pertanyaan Herris.
“ Baik, kurasa.”
“ Benarkah?” Tanya Herris. Suaranya berat namun terdengar penuh wibawa.
“ Ya.”
“ Tuan tahu bukan? Banyak orang yang mengatakan ‘baik’ bahkan sebelum ia ingat bagaimana kehidupannya akhir-akhir ini.”
“ Itu sudah jadi kebiasaan. ‘Baik’ memang sudah jadi jawaban dari ‘ apa kabar’.” Jawabku, cukup tertarik dengan topik yang diusung Herris.
“ Ya. Kurasa itu bukan kebiasaan yang baik. Mau tak mau orang harus menerima nasibnya, baik atau buruk.” Herris tersenyum padaku.
“ Ah, itu sulit.” Kataku.” Kau tahu kan, kebiasaan itu sangat sulit diubah.”
“ Dan kebiasaan manusia saat ini buruk sekali.” Herris terdengar marah, namun saat kulihat wajahnya ia masih tersenyum.
“ Buruk dalam arti?” tanyaku. Mulai berpikir pembicaraan ini takkan berakhir baik.
“ Macam-macam. Tuan sendiri tahu bukan? Kebiasaan buruk itu sulit diubah. Alangkah baiknya jika manusia mulai lagi dari awal.”
“ Dari awal?”
“ Ya. Seperti jika kita memainkan permainan monopoli. Jika kita merasa sudah takkan bisa menang, maka kita lebih baik memilih opsi memulai permainan baru. Atau dikenal sebagai New Game. Bukannya tidak mungkin manusia juga dapat memulai hidup baru? New Life?”
“ Caranya?”
“ Jika kita memulai permainan baru, maka kita…” Herris berdehem, kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih berat dan pelan.” Kita menyingkirkan permainan yang lama. Nah, sudah sampai Tuan. Saya berterima kasih atas percakapannya yang menyenangkan.”
Aku membayar Herris, kemudian keluar dari taksi dengan bingung. Apa maksudnya? Dari yang kutangkap, ia berusaha mengubah sesuatu. Tapi apa itu? Dalam pembicaraannya ia sering sekali memakai perumpamaan. Apa mengubah kebiasaan manusia juga perumpamaan? Ataukah itu justru inti dari seluruh pembicaraan kami? Ah, untuk apa aku memikirkan hal seperti itu. Itu bukan urusanku. Dan setelah Herris membawa taksinya hilang dari pandanganku, aku memasuki rumah Fort.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar