Jumat, 02 April 2010

SATU( Part 3)

Aku tersenyum mendengar ajakan Eliza, bimbang akan menerimanya atau tidak. Aku tidak begitu tertarik dengan orang-orang Yajedan ini sebenarnya, karena aku sedang mencari tahu tentang kertas Amanda. Aku benar-benar bersyukur saat Red berkata," Eliza! Aku hendak memesan ini, tidak apa kan?"
Setidaknya itu mengalihkan perhatiannya," Oh, maaf Red. Waktu traktir sudah habis. Aku harus kembali. Bye semuanya, terima kasih."
Red terpaku kesal.
" Oh, Eliza, selamat atas kesuksesanmu." ucapku saat ia bangkit." Jika kau mengetahui tentang Yajedan, beritahu aku." kataku, sekedar untuk menghargainya.
Eliza tersenyum untuk kesekian kalinya. Red akhirnya duduk di ujung Itadakimasu, sedang memesan. Sementara Eliza dan kawan-kawannya keluar, dan terdengar "arigatou" dari pintu, aku menghampiri Red.
" Arus, jadi kau hendak memesan apa?" Tanya Red saat aku duduk bergabung di mejanya.
" Aku tidak begitu mengerti makanan Jepang." ujarku." Pesananku sama denganmu."
Red bicara pada si pelayan sipit, kemudian pelayan tersebut mengulangi pesanan dan pergi.
" Jadi kau sudah tahu apa isi artikel Eliza?" Tanya Red saat pelayan itu sudah entah ke mana.
" Ah, ya. Katanya Pulau Yajedan di Pasifik terisolasi karena lautan sekitarnya membeku."
Red terlihat agak tercekat, namun aku tidak begitu memperhatikannya." Tidak mungkin laut membeku dengan kadar garam yang terkandung di dalamnya."
Aku terdiam, menyadari kebenaran pernyataan Red. Karenanya aku segera membuka koran dari Eliza kembali.
" Lihat ini." Kataku." Suhu disana hampir mencapai minus delapan puluh hingga seratus derajat celcius. Tentulah lautan dapat beku."
" Tidak mungkin!" Ujar Red." Manusia takkan mampu hidup pada suhu serendah itu!"
" Memang tidak ada kabar dari dalam Yajedan. Mungkin mereka semua mati beku."
Red dan aku tertawa, walau entah kenapa tawa Red terasa hambar bagiku. Menganggapnya hanya perasaan konyolku, aku kemudian melanjutkan," Apa kau tertarik dengan artikel ini?"
" Tidak begitu." jawab Red." Yajedan, aku belum pernah dengar tentang itu."
" Aku juga. Makanya aku bingung kenapa berita itu bisa jadi berita utama."
Makanan kami datang tak lama kemudian. Aku tidak tahu itu makanan apa, seperti gumpalan nasi yang disumpalkan ikan di dalamnya.
Aku memakannya dan menyadari rasanya benar-benar aneh, namun kujaga tampangku agar terlihat biasa saja.
" Kau tahu pasti kan Arus. Direktur editor kita, Tuan Slittering memang hobinya benar-benar aneh. Menerbitkan berita-berita yang amat berbeda dengan berita-berita yang diterbitkan di koran lain! Tapi entah kenapa koran kita tetap sukses."
" Ya," tukasku dengan mulut penuh makanan." Orang-orang sudah jemu tentu saja. Zaman es ini, zaman es itu. Kiamat ini, akhir dunia itu. Mereka butuh pengalihan sepertinya. Contohnya Pulau Yajedan itu. Eliza tidak terlalu menekankan bagian terisolasinya, tetapi budaya mereka, bagaimana mereka bertahan hidup, kira-kira begitu."
" Tunggu. Sebenarnya Yajedan itu orang-orang primitif atau semacamnya?"
" Entahlah. Karena itu kau makan yang cepat, agar aku dapat mencarinya di internet."
" Sabarlah sedikit Arus. Waktu tidak mengejar kita."
Aku terdiam, menyaksikan Red perlahan menghabiskan makanannya. Piringku sudah kosong, karenanya aku hanya meneguk teh panas yang disediakan.
" Kau tahu,Arus. Aku sebenarnya tidak pernah benar-benar melihat Tuan Slittering. Aku tahu, dia editor kita. Aku pun pernah melihatnya di foto, tapi tak pernah aku bertatap langsung dengannya. Bahkan melihatnya berjalan di kantor pun tidak."
" Aku pernah sekali." kataku, tersenyum bangga." Tuan Slittering memanggilku karena beritaku tentang badai matahari dulu. Katanya itu berita yang amat bagus. Dan dia bangga akan kerja kerasku."
Red tertawa terbahak," Kau tidak mungkin melakukan penelitian tentang itu Arus. Aku tahu kau orang macam apa, kau pasti hanya mencarinya di internet bukan? Sedangkan 'kata professor ini' dalam artikelmu hanya rekaanmu saja bukan?"
Aku ikut tertawa," Benar, untunglah Tuan Slittering tidak mengungkitnya lagi walaupun aku yakin dia tahu tentang itu."
Suara sirine mobil polisi membuatku dan Red menengok ke jendela, sedikit terperanjat. Namun kami menegang saat mobil tersebut berhenti di depan kantor kami. Aku dan Red segera berlari menuju tempat itu. Entah Red sadar atau tidak, kami belum bayar sebenarnya. Namun para pelayan pun sama kagetnya dengan kami, hingga lupa meminta bayaran rupanya.
Kami berlari dengan cepat hingga sampai di kantor. Disana sudah ada banyak polisi berkumpul. Eliza sedang sesenggukan, Amanda di sebelahnya, berusaha menenangkannya.
" Amanda!" teriakku." Apa yang terjadi?"
" Entahlah, Eliza yang menyaksikannya."
" Menyaksikan apa?" tanyaku amat penasaran.
" Tuan..." Eliza masih sesenggukan." Tuan Slittering..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar