Senin, 05 April 2010

SATU( Last part)

" Eliza...?" Aku perlahan mendekati Eliza yang terisak di bahu Amanda. Aku tahu tidak bijak bertanya sekarang, tapi rasa penasaranku begitu tinggi," Apa yang terjadi?"
Alih-alih menjawab, Eliza malah terisak semakin keras.
" Jangan sekarang, Arus, kumohon." kata Amanda sambil mengerutkan dahi. " Apa kau tidak punya rasa kasihan?"
" Maaf." tukasku. Red menyandarkan dirinya ke tembok, aku tidak tahu hanya perasaanku saja atau memang benar, Red mengulaskan senyum kecil. Namun kurasa itu hanya perasaanku, aku yakinkah diriku akan itu.
Seseorang menepuk pundakku dengan keras sekali, membuatku berbalik dengan cepat. Seorang yang tidak kukenal berdiri di depanku. Ia berambut hitam pendek dan memiliki pandangan tajam. Pandangannya bertemu denganku, dan entah kenapa aku merasa diintimidasi saat itu.
" Detektif Rosseau. Sezquall Rosseau." Ia mengulurkan tangannya.
" Arus Revoir." kataku sambil menjabat tangannya." Detektif, apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
" Ini," Sezquall memperlihatkan sebuah foto. Aku tercekat, disana terbaring Tuan Slittering dengan lima lubang di kepalanya. Darah membasahi karpet kantornya, membuatku bergidik." Kemungkinan pembunuhnya menggunakan pistol berperedam karena tak ada yang mendengar suara tembakan."
" Mungkin pisau?"
" Tidak, tidak. Polisi sudah mengidentifikasi peluru yang gagal menembus kepala Tuan Slittering. Itu peluru TEK-9, dan itu bukan senjata murah. Pasti sekumpulan mafia atau semacamnya yang membunuh Mr.Slittering."
Aku tercenung sejenak. Tapi mengapa ada yang mau membunuh Tuan Slittering? Dia bukan orang jahat, dia hanya kurang bicara. Dari penampilannya yang gendut dan berkumis tebal itu, takkan ada yang membencinya. Apa motif pembunuh itu?
" Tapi sebelum itu, Tuan Revoir. Anda berada dimana tadi?"
" Saya? Saya bersama teman saya Red sedang makan di Itadakimasu, tiga gedung dari sini." ujarku.
" Apa Anda mengenal Mr.Slittering?"
" Tidak, tidak terlalu." jawabku sejujurnya." Saya baru sekali bertatap muka dengannya."
" Dengan tujuan?"
" Beliau memuji saya soal artikel yang saya buat. Saya bekerja disini, Tuan Rosseau. Dia editor saya."
Sezquall mengangguk-angguk, kelihatannya puas dengan jawabanku. Red masih bersandar pada tembok, kali ini kelihatannya shock sekali. Aku berdiri bersama Sezquall di depan gedung sementara polisi memasang garis polisi di depan gedung. Banyak yang menangis, banyak yang hanya terdiam shock. Dan saat kulihat lagi ke arah tembok tempat Red berada, ia sudah tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar