Selasa, 30 Maret 2010

Prolog

Dalam kehidupan banyak yang berubah. Itu sudah biasa, dan sama sekali bukan hal yang aneh. Kadang kita merencanakan sesuatu, tapi segala sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Terkadang, selama lima tahun kita tak bertemu sahabat kita, dan ketika bertemu, ia sudah jauh berubah dan tidak dapat dikatakan sahabat lagi. Sudah tak asing memang dengan perubahan, tapi justru dampak dari perubahan itulah yang kadang amat asing bai kita.
Begitulah yang terjadi sekarang. Prediksi-prediksi para ilmuwan tentang pemanasan global, badai matahari, dan semacamnya telah salah. Semua prediksi tersebut disingkirkan oleh satu zaman yang terulang. Sebuah zaman es. Ini semua mengubah pemahaman kami secara total, mengubah gaya hidup kami, dan mengubah segala sesuatu yang kami ketahui. Bagaimana tidak, sebuah zaman yang benar-benar melenceng dari prediksi telah membuat kami sulit berpikir, kebingungan mencari arah.
Gigiku menggertak kedinginan, ya, tidak aneh. Setiap hari keadannya begini. Suhu tak lebih dari -20 derajat celcius. Padahal ini Jakarta! Paling hangat pun 5 derajat. Tak lebih. Pekerjaanku sebagai jurnalis sekarang menjadi agak terhambat. Mobil hampir tidak bisa menyala, ya, tidak heran, dengan suhu sedingin ini mesin apapun akan mati. Apalagi, disini, di Indonesia, yang asalnya adalah negara tropis, sekarang menjadi negara es! Yah, tentu tidak ada yang memiliki penghangat ruangan.Sejauh ini pemerintah masih berusaha mengimpor penghangat dari luar negeri.

Aku keluar dari apartemen kecilku di tengah kota Jakarta, mengunci kamarku, dan dengan melipat kedua tangan berjalan ke arah lift. Disana aku menekan tombol tanda panah ke bawah dengan tangan berbalut sarung tangan tebal dan menunggu, masih gemetaran.
Lift terbuka beberapa saat kemudian, dan aku masuk. Kutekan tombol G dan kutunggu sejenak hingga pintu lift kembali terbuka.
" Ah, Arus." sebuah suara membuatku menengok ke kanan.
" Red." balasku tersenyum sebelum menjilat bibirku yang kering terkena udara dingin. " Berita apa dari kantor?"
" Aku baru saja hendak ke sana." Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandangannya berkeliling." Tahun-tahun ini bukan tahun yang baik, tidakkah kau pikir?"
" Benar." Aku kembali menjilat bibirku." Ada kabar lagi tentang penyebab semua ini?"
" Tidak." tukas Red." Seluruh peneliti masih menyelidiki apa yang sedang terjadi."

Kami berjalan keluar dari apartemen dan seketika udara yang tiga kali lebih dingin menyapa kami. Aku menyipitkan mata saat angin menerpa wajahku. Aku dan Red menghentikan sebuah bus dan naik, agak lega karena sementara terbebas dari hawa dingin yang membunuh.
" Ah, masa-masa sulit memang. Aku melakukan survey minggu lalu dan mendapatkan hasil kematian per minggunya." Red menghela napas sekali lagi saat kami mendapatkan tempat duduk.
" Oh ya? Berapa?"
" Lima sampai sepuluh jiwa. Gila bukan?"
Aku terlonjak," Sebanyak itukah?"
" Benar. Ironis sekali. Apalagi banyak orang tak punya rumah. Aku khawatir angka itu akan terus merangkak naik."
" Sungguh aneh. Apa tidak ada ilmuwan dunia yang tak bisa menyelidiki apa yang terjadi?" Aku mengerutkan dahiku, tak percaya. Red pun hanya menghela napas, memandangi jendela yang berembun. Ia mengelap embun yang menghalangi pandangannya dan menjawab," Entahlah, Arus. Semua seakan tertutup debu misteri akhir-akhir ini. Pekerjaan kita sebagai jurnalis semakin sulit saja."
Bus kami terhenti di sebuah stasiun yang terletak di depan tempat kerja kami. Kami turun setelah memberikan dua buah uang dua ribuan pada supir bus yang tersenyum kecut. Dan begitu pintu bus terbuka, udara dingin yang bertambah kejam kembali menyambut kami.
" Ada beberapa rumor sebenarnya." Ujar Red saat kami meniti tangga menuju gedung." Kau sudah dengar?"
" Rumor? Belum. Katakanlah."
" Ada yang bilang karena polusi yang manusia hasilkan menutupi sinar matahari. Yah, itu yang paling populer."
Aku mencibir," Konyol sekali. Itu benar-benar tidak mungkin. Aku tahu itu, kau juga."
Red mengangguk saat kamu melewati pintu otomatis." Ya, tapi menurutku yang paling logis hanya dua pendapat. Pertama, karena revolusi bumi semakin lonjong, dan kita sedang berada pada jarak terjauh bumi dan matahari. Kedua, karena adanya efek elektromagnetis dari bumi dan matahari yang beradu, membuat aktivitas matahari semakin rendah."
Aku mengangguk-angguk." Itu masih bisa kuterima."
" Kau ini, lagaknya bagai ilmuwan saja." Red menyodok ulu hatiku dengan sikutnya.
Red dan aku meniti tangga lagi menuju lantai dua dimana ruangan kerjaku dan Red terletak. Kami berjalan dalam diam, sementara aku memeriksa arlojiku. jam setengah delapan pagi, tetapi kenapa kantor sepi sekali? Hatiku masih bertanya-tanya ketika seorang wanita dengan jas hitam yang dibalut lagi dengan mantel bulu yang kukenali sebagai Amanda mendekati kami dengan terburu-buru. Tangan kanannya membawa secarik kertas yang sudah amat kuning.
" Arus! Red!" Seru Amanda, dan dengan antusias ia memperlihatkan kertas kuning yang dipegangnya," Coba lihat ini!"
Aku dan Red saling bertatapan bingung, dan mengarahkan pandangan kami pada kertas yang ditunjukkan oleh Amanda. Di kertas tersebut tertulis huruf-huruf yang indah, dan bunyinya:

Matahari hanya tertidur
Melihat buminya diselimuti awan kegelapan
Matahari hanya menguap
Melihat bumi merana


" Iya, dan apa maksudnya semua ini?" tanyaku.
" Tidakkah kau mengerti Arus?" Amanda melipat kertas tersebut." Lihat disini,matahari tertidur, Dan jika dilihat, kertas ini adalah kertas dari abad pertengahan, artinya setelah zaman es terakhir. Berarti orang- orang zaman dulu sudah meramalkan zaman es yang kita alami saat ini!"
" Apa?" Aku dan Red bereaksi hampir bersamaan." Tapi, bukankah mungkin saja jika sebelum kita ada zaman es."
" Ya, tapi antara zaman kita dan abad pertengahan, kurasa tidak." Amanda tersenyum puas melihatku terbengong-bengong.Dan ia langsung pergi lagi dari hadapan kami. Aku berani bertaruh Amanda berniat menunjukkan kertas itu pada semua orang.
" Perlu diteliti lebih lanjut." Ujar Red.
" Aku setuju."
Dan kurasa, penyelidikan kami akan dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar